Kamis, 11 November 2010

Cerpen

CHATTING
Chatting! Itulah kegiatan sehari-hariku untuk mengusir rasa sepiku. Daripada aku keluar rumah yang tidak jelas juntrungnya kuputuskan untuk tetap berada di rumah tapi menghibur. Ya akhirnya di depan komputerlah aku bisa mencurahkan rasa hatiku pada para chatter yang mau dengan setia mendengarkanku walau aku tak tahu siapa dia. Namun, bagiku tak masalah. Yang penting beban di hatiku bisa hilang.
<Alooooo>
Kuketik kata pembuka untuk chatter istimewaku. Mengapa istimewa? Aku dapat merasakan dari nickname yang dipakainya, sangat bersahaja, Jatianom, tidak seperti chatter lain yang menggunakan nama-nama keren seperti, boy_cute, the best man, bahkan yang ekstrem pemuja setan_54.   Awalnya aku sempat ragu dia itu laki-laki atau perempuan. Kuingat bagaimana awal perkenalanku dengannya.
<Aloo…. chat ama aku yuk>
Kutulis kalimat untuk membuka jalan pembicaraan. Lama tak ada jawaban.
< Aloooo juga>
Eh ada jawaban dan kubaca nicknamenya. Jatianom.
<A/S/L
<27/man/semarang, U?
<25/woman/salatiga>
<Wah asyik nih, kita bertetangga, dah kerja?>
<Lagi cari, mau kasih kerjaan>
<Bener nih mau?>
<Iya, apa?>
<Ngelapin kabel listrik>
<Gila nih, apa gak ada yang lebih ekstrem lagi?>
<Ada>
<Apa?>
<Nyikatin gigi kuda>
Yah, itulah awal  perkenalanku dengan Jatianom. Aku merasa cepat akrab, yang tak kurasakan pada chatter-chatter lain. Hampir tiap hari aku chatting dengannya walau kadang hanya tanya kabar dan say hello saja. Aku tak pernah mambayangkan seperti apa dia karena yang aku butuhkan hanyalah teman ngobrol untuk membunuh kesepian karena ditinggal suami bekerja ke luar kota.
Kring…. Kring…
“Halo…selamat sore”
“Nin… ini aku. Maaf nih aku tidak bisa pulang nanti malam karena pesawat dicancel. Mungkin besok pagi aku baru sampai rumah.”
Kudengar suara Mas Pras di ujung sana. Dia sedang bertugas di Padang untuk urusan bisnis properti yang kini digelutinya.
“Ya ,Mas. Tidak apa-apa. Nanti biar Mbak Nah menemani aku. Hati-hati ya Mas.”
Entah mengapa kini aku tidak sedih mendengar kabar kalau Mas Pras terlambat pulang. Padahal dulu, aku selalu protes jika dia terlambat pulang. Aku merasa  punya teman dan punya banyak kesempatan untuk chatting dengan Jatianom.
<Alooo….lagi apa,man?>
<Lagi chat dong>
<Maksudnya sambil apa nih?>
<Minum kopi ama pisang goreng, enak deh>
<Wah asyik tuh, minta dong>
< Nih ambil,masih banyak kok>
<Kamu yang ke sini,dong>
<He he lagi sendirian ya?>
<Iya……sebel aku>
<Kenapa>
<Aku lagi bete>
<Ngapain bete>
<Pernah gak merasakan kesepian>
<Gak tuh…aku selalu cari kesibukan>
< Tapi lama-lama bosan>
<Jadi orang jangan mudah menyerah. Tuhan tidak suka pada orang yang mudah putus asa. Jalani hidup dengan selalu sabar dan bersyukur karena Dia masih memberi kita napas untuk bisa hidup>
<Waduh jadi relegius begini>
<Ya kita tidak akan bisa hidup tanpa Tuhan. Ingatlah Dia, mintalah petunjuk-Nya, pasti Dia akan mendengarkan kita dan mengabulkan semua permintaan kita>
<Kamu ustad ya? atau pendeta?>
<,Bukan, aku hanyalah hamba Tuhan yang juga banyak dosa tapi berusaha untuk selalu dekat dengan-Nya>
Aku jadi malas untuk membalas karena kurasa pembicaraan sudah tidak asyik lagi. Kubiarkan saja tanpa kubalas dan kulihat dia juga tidak meneruskannya lagi. Kutunggu hingga lama sekali, tak muncul-muncul juga. Akhirnya kututup windowku untuk mengakhiri semua ini.
Kurebahkan tubuhku di kasur dan kucoba untuk memejamkan mataku yang memang belum kedatangan sang kantuk. Kata-kata tadi terlintas di benakku. Kata-kata Jatianom. Apakah aku ini kurang bisa bersyukur? Mudah menyerah? Tidak dekat dengan Tuhan? Kuingat-ingat sudah berapa lama aku tak menjalankan perintah Tuhan. 
Aku jadi mambayangkan bagaimana sosok Jatianom. Seorang laki-laki berjenggot dengan surban putihya yang ke mana-mana membawa tasbihnya seperti yang aku lihat di sinetron-sinetron relegius atau seorang laki-laki klimis dengan jubah hitamnya dan membawa Alkitab. Ah… aku jadi pusing.
Iseng-iseng kubuka windowku lagi dan mulai chatting.
<Aloooo …man, masih di situ?>
Tak ada jawaban.
<Alooo.. Jati aku pingin ngobrol nih…>
Tetap tak ada jawaban.
Huh…aku mendengus kesal. Inilah kesepian yang sesungguhnya ditambah kejengkelan. Sempurna sekali penderitaanku malam ini. Kubayangkan mas Pras tidur di hotel dengan temannya atau bahkan dengan teman kencannya. Wah.. pikiranku jadi ngelantur. Aku percaya Mas Pras tak akan seperti itu. Aku percaya padanya.
Kulihat komputerku masih diam , aku benar-benar kesal.
<Alooo, sory lagi sholat>
<Oh maaf..aku kira kamu marah sama aku>
<Kenapa marah? amarah hanya akan menambah hidup kita tidak indah lagi, Non>
<Iya, btw kamu tuh temannya malaikat ya?>
<Hehe… bukan, aku teman kamu>
<Aku jadi pingin tahu kamu nih>
<Bener ?>
<Iya, boleh kan?>
<Ya kapan-kapan ya>
<Kok gitu>
<Iya kalau Tuhan mengizinkan>
<Jahat deh….kan tempat kita dekat>
<Oke deh ,Non, malam ini aku ngantuk berat, besok kita lanjut ya,met malam, mimpi indah>
Ih ..dia menutup begitu saja, kok tidak biasanya begini. Kulirik jam dinding . Hah…sudah hampir jam 12 malam. Pantas Jati sudah ngantuk. Ya Tuhan mengapa aku selalu punya pikiran negatif pada orang lain?
Aku pun merebahkan tubuhku di tempat tidur dan berusaha memejamkan mataku.
“Nin….aku pulang”
Kudengar suara Mas Pras di luar. Mbah Nah ternyata lebih dulu membukakan pintu.
“Jam segini kamu baru bangun, Nin? Semalam tidak bisa tidur ya, Kasihan….”
“Ya,Mas soalnya sendirian sih.” Kataku berbohong karena aku semalam begadang untuk chatting dengan Jati.
“Oke deh Nin, nanti seharian aku di rumah menemani kamu, kita mau ke mana?”
“Apa Mas Pras nggak capek, baru sampai sudah ngajak pergi.”
“Demi kamu capek tidak aku rasakan,Nin. Yang penting kamu senang.”
“Kita di rumah saja ,Mas. Aku sedang tidak pingin ke mana-mana.”
“Tumben, biasanya kamu suka jalan-jalan.”
“Enggak ah, hari ini aku mau nemani Mas Pras di rumah. Mas istirahat saja yah…”
Entah mengapa aku tidak tertarik dengan tawaran Mas Pras. Aku lebih senang di rumah. Tapi bagaimana kalau Mas Pras tahu kalau alasanku tidak mau diajak jalan-jalan hanya karena aku ingin chatting dengan Jati?
Seharian itu aku menemani Mas Pras di rumah tapi pikiranku tetap pada Jati. Sedang apakah dia sekarang? Apakah dia menunggu kabar dariku? Bagaimana kalau dia chat dengan chatter lain? Kok aku jadi cemburu begini?
“Nin, kenapa hari ini aku lihat kamu tidak ceria seperti biasanya?”
“Ah ,masa sih Mas, aku biasa saja kok, Perasaan Mas saja kali.” jawabku sekenanya.
“Atau karena aku sering pergi ya? Ini kan untuk kita juga Nin. Atau karena anak? Ya bagaimana lagi ,Nin, kalau Tuhan belum memberi. Kita kan sudah berusaha. Sabar saja ,Nin, suatu saat pasti Tuhan akan memberi.”
“Oh…bukan itu kok ,Mas..aku cuma…” tak kuteruskan kalimatku karena aku sendiri tidak tahu kalimat apa yang tepat untuk aku utarakan pada suamiku.
“Cuma apa,Nin?”
“Aku sering kesepian di rumah.”
“Kamu kan bisa cari kesibukan di luar, seperti yang kamu lakukan dulu. Kenapa sekarang kamu berubah ,Nin? Kamu jadi jarang bersosialisasi hanya karena kamu malu karena sampai saat ini kamu belum punya anak. Anak, rezeki, karier itu Tuhan yang mengatur. Berusahalah untuk menerima pemberian Tuhan. Lihatlah di luar sana, masih banyak orang yang lebih menderita dari kita.”
Deg. Aku jadi ingat Jati. Tapi bagaimana aku mau chat dengannya kalau suamiku ada di rumah. Aku tidak mau suamiku tahu. Aku jadi gundah…gelisah. Menunggu esok rasanya  lama sekali. Menunggu suamiku berangkat kerja dan aku melakukan rutinitasku sehari-hari , chatting!
<Alooo…Non….>
<Heiii …alooo juga….kangen nih>
<Hah…kangen?>
<Iya, kemarin gak sempat chat karena lagi ke luar kota>
<Ada kabar apa hari ini>
<Hari ini aku bahagia>
<O ya? Ada apa nih>
<Karena aku bisa ketemu kamu>
<Walah2 mulai ngegombal nih>
<Bener, sumpah, gak bohong>
<Eit, jangan pake sumpah dong>
<Biar kamu percaya>
<Oke, aku percaya deh>
<Kapan ke Salatiga, aku pingin ketemu>
<Kebetulan non besok Rabu aku ada keperluan ke Salatiga, ketemuan yuk>
<Bener? Kita ketemu ya>
<Seneng amatJ>
<Kenapa nertawain aku?>
<Soalnya kamu lucu, aku juga jadi pingin ketemu kamu, di mana?>
<Di Café Casanova jam 11>
<Oke, gimana kalau jam 12>
<Ya deh>
<Gimana aku ngenali kamu?>
<Aku pakai baju warna oranye bawah hitam>
<Oke, aku akan pakai T Shirt krem celana hitam, topi hitam .”
<Bener ya…tidak boleh molor>
<Siap..Nona Manis>
Hatiku deg-degan. Rabu, berarti tinggal dua hari lagi. Ya aku akan bertemu dengan seseorang yang sangat aku nantikan.

Rabu, pukul 11.30
Aku menunggu dengan harap-harap cemas kehadiran Jati. Sengaja hari itu aku memakai baju yang berbeda dengan perjanjianku dengan Jati. Aku tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak aku inginkan. Misalnya, dia ternyata sudah kakek-kakek , anak ABG, atau bahkan dia sebenarnya seorang perempuan. Aku juga datang sebelum waktu yang ditentukan supaya aku bisa mencari tempat yang strategis untuk melihatnya terlebih dahulu dengan leluasa sebelum memutuskan untuk menemuinya.
Kulirik arlojiku. Pukul 12 kurang 5 menit. Belum aku lihat laki-laki ber-T Shirt krem, bercelana hitam dan bertopi hitam. Wah jangan-jangan dia bohong. Kulayangkan pandanganku ke sekeliling café. Tapi tak kutemukan juga. Perasaanku mulai tidak enak. Jangan-jangan aku dikerjain .
Pukul 12 tepat.
Aku tak sabar menunggu. Rasanya sudah lama aku duduk di sini. Tiba-tiba aku melihat Mas Pras dan temannya memasuki café. Aku tundukkan wajahku. Aku sangat takut rahasiaku terbongkar dan suamiku tahu kalau aku kencan dengan seseorang. Kulihat Mas Pras berbincang dengan Budi, temannya, tapi Budi segera meninggalkannya.
Tanpa sengaja aku dan dia beradu pandang. Mas Pras terkejut dan segera menghampiriku.
“Nin, mengapa kamu di sini?”
“Aku nunggu Reni, katanya mau ngajak ke rumah Hesti dan ketemu di sini…eh molor. Jam segini belum datang. Aku telepon katanya masih di jalan tapi kok ya tidak sampai-sampai juga.” Kataku, dan aku juga tidak tahu mengapa kalimat itu mengalir lancar dari mulutku walau hatiku berdebar-debar. “ Mas sendiri kenapa ke sini? Bukannya ini jam kantor?”
“ Ini jam istirahat, Manis. Si Budi ngajak ke sini tapi dia sedang ke depan beli pulsa.
“ Aku sudah bosan rasanya di sini, tidak enak duduk sendirian. Dikiranya perempuan apa. Lebih baik aku telepon Reni saja dan langsung ketemu di rumah Hesti saja.”
“Ya sudah, hati-hati di jalan.”
Hatiku hancur, aku dibohongi Jati. Aku sudah berharap bertemu orang yang sangat aku nanti-nantikan, tapi semua sirna. Aku pulang dengan kecewa. Ingin aku sampai di rumah dan segera kuhubungi Jati dan menumpahkan rasa benciku padanya.
Kubuka window dan kumulai mengetikkan kata-kata untuk mengungkapkan kekesalan hatiku.
<Man…kamu membohongi aku, aku benci kamu>
Tak ada jawaban. Aku jadi semakin benci. Ingin rasanya kubanting komputerku.
<Halo Nona Manis bukannya kamu yang bohong?>
<Apa maksudmu? Aku tak percaya kamu lagi>
<E..e sabar dulu dong. Tadi aku datang ,kucari wanita muda dengan baju oranyenya, gak ada tuh>
<Aku juga tidak ketemu kamu , aku benci kamu>
<Jangan marah dong, mungkin Tuhan belum mengizinkan kita ketemu. Masih ada waktu.>
<Alah…jangan bawa-bawa nama Tuhan dong untuk sebuah kebohongan>
<Aku tidak bohong. Hanya tadi aku lupa tidak membuka jaketku>
<Sudahlah aku tak percaya kamu>
<Waduh…ngambek betul nih atau aku harus ke rumah kamu sekarang, alamatnya mana?>
<Tidak perlu, lebih baik aku gak kenal lagi sama kamu>
Kututup windowku. Pupus sudah harapanku. Berarti hari-hariku besok akan terasa sepi lagi karena aku sebel pada Jati.
Sore itu aku habiskan waktuku dengan mendengarkan musik dan membaca majalah, kegiatan yang sudah lama kutinggalkan semenjak aku kenal Jati. Baru membuka lembar-lembar tengah kudengan suara mobil Mas Pras memasuki garasi. Kusambut kedatangan Mas Pras dengan suka cita karena kehadirannya sudah aku tunggu setelah kuputuskan untuk melupakan Jati, orang yang selama ini menyisihkan Mas Pras dari perhatianku.
Begitu Mas Pras turun dari mobil aku terkesiap. Mas Pras dengan topi hitamnya, T-Shirt krem dan celana hitam. Apakah…. Ah tidak mungkin. Ini kebetulan saja.
“ Halo istriku yang cantik, mengapa bengong?”
“Soalnya suamiku sore ini keren banget.”
“Lho..bukannya dari dulu keren?”
“Ih.. Gee r,” kataku sambil mencubit lengannya.
“ Aduh, aku ingin segera mandi, lengket banget rasanya .”
“ Ya..Mbak Nah sudah menyiapkan air hangat tuh.”
“Aku mandi dulu ya,” katanya sambil menyerahkan tas kepadaku dan dia langsung menuju kamar mandi.
Tas itu aku letakkan di atas meja dan tanpa sengaja buku agenda Mas Pras jatuh. Kupungut dan iseng-iseng kulihat dan kubaca kegiatan Mas Pras selama ini. Waduh padat sekali kegiatannya. Memang aku kadang-kadang merasa kasihan karena dia jarang punya waktu istirahat. Di lembar terakhir kutemukan tulisan
Rabu. 12 Juni jam 12 ketemu meivasa di café Casanova
Hah….mulutku ternganga. Jantungku berdebar. Jadi selama ini Jatianom adalah Mas Pras?
Aku chatting dengan suamiku sendiri? Ya Tuhan…Meivasa adalah nickname-ku . Mungkinkah Mas Pras tahu? Jangan-jangan…. Oh tidak! Aku tak pernah memberitahu siapa pun kalau aku suka chatting. Kumasukkan kembali buku agenda itu. Hatiku berdebar tak menentu.
Esok paginya aku buka windowku kembali.
<alooo,Man>
<hei…udah hilang marahnya?>
<pastinya lah>
<secepat itu?>
<ya>
<apa karena sudah dekat sama Tuhan?>
<ya, dan yang pasti karena aku cinta kamu>
<apa….? Gak salah tulis?>
<gak, selamanya aku akan cinta kamu, Jati>
<hei aku jadi pingin ketemu kamu nih>
<mungkin lebih baik kita begini saja>
<kok begitu, kamu belum tahu aku kan?>
<aku sudah tahu kamu karena kau selalu ada dalam hatiku>
<oh so sweet…Non>
<aku jadi pingin ketemu kamu, sumpah !>
<gak usah sumpah-sumpah, gak baik, udah dulu ya, met beraktivitas, doaku untuk kamu>
<Eit tunggu, jangan tutup dulu, aku cinta kamu juga ,Mei>
Baru kali ini dia menyebut namaku. Yach chatting itu akan terus berlanjut. Karena ternyata aku chatting dengan suamiku sendiri bukan dengan orang lain. Walaupun dia tidak tahu siapa Meivasa itu sesungguhnya. Tapi kurasakan hari-hari chattingku semakin indah. Jati…aku mencintaimu.

Salatiga, 8 Juni 2008
                                                                             Hari penuh memori

Tidak ada komentar:

Posting Komentar