Minggu, 14 November 2010

Oase

Lupakah kita bahwa Allah melarang kita memakan dan mengambil sesuatu yang bukan haknya,    kecil atau pun besar nilainya
Korupsi Kecil
Suatu hari di sebuah hypermarket. Musim kelengkeng telah tiba. Karena saya sangat suka buah kelengkeng (tepatnya, saya suka semua buah-buahan yang sedang musim dan murah), saya pun bergegas menuju counter buah. Karton yang digantung bertuliskan “ Kelengkeng Bangkok Rp 890/0ns” itu nyaris tak terlihat karena dipenuhi kerumunan orang. Apalagi keranjang kelengkengnya.

Berhubung tubuh yang tak terlalu besar, saya masih dapat menyelinap di antara kerumunan. Dan olala, di sekeliling saya, beberapa bapak keren, ibu-ibu trendi dan gadis cantik dengan tenang dan cuek mengupasi biji-biji kelengkeng itu dan memakannya di tempat, seakan buah bulat kecil itu adalah makanan yang disediakan untuk mereka, tanpa peduli pada papan bertuliskan besar-besar “MOHON UNTUK TIDAK MENCICIPI” yang ditancapkan di antara keranjang.

Kulit kelengkeng bertebaran di antara buah yang ada, makin lama makin banyak, dan papan itu pun berdiri sendiri. Sepi. Seorang petugas terpaksa bersabar menunggu agak sepi untuk membersihkan sampah ranting dan kuit kelengkeng tanpa berani menegur tindakan ‘para pembeli yang terhormat itu’.
                                                                                *****
Ya, inilah Indonesia.Selalu itu komentar saya bila ada kebiasaan ‘aneh’ orang Indonesia. Menyeberang jalan dengan memotong pagar pembatas sudah biasa, padahal di atasnya ada jembatan penyeberangan yang cukup lega dan nyaman dengan kanopinya, walau, yaa capek sedikit karena harus naik turun tangga.  Buang sampah sembarangan juga sudah biasa, karena di kereta, halte dan tempat-tempat umum lain tidak ada tempat sampah. Termasuk soal ‘mencicipi’ makanana di tempat orang berjualan.

Hal kecil itu dianggap sebagai sesuatu yang biasa, sangat biasa malah. Saking biasa dan  wajarnya hingga yang melakukannya pun bukan cuma orang miskin yang memanfaatkan kesempatan untuk dapat makan gratis. Bahkan kebanyakan mereka adalah dari kalangan yang sebenarnya sangat tidak berkekurangan. Tengok pula, berapa banyak ibu-ibu atau nyonya-nyonya belanja sayur di pasar atau pun  di tukang sayur yang sering mencicipi berbiji-biji dan minta tambahan tanpa keridhaan si penjual.

Jadi? Sesungguhnya ini adalah masalah paradigma, cara pandang, yang kemudian membudaya. Cara pandang yang menganggap kata korupsi hanya perlu dilabelkan pada hal-hal besar atau pun nilainya yang besar. Namun, kalau sekedar mencicip makanan, mengurangi ongkos bis, atau minta tambah ke penjual adalah hal biasa. Demikian apa yang dipikirkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Padahal, lupakah kita bahwa Allah melarang kita memakan dan mengambil sesuatu yang  bukan haknya, kecil atau pun besar nilainya? Allah menyebut “Janganlah engkau ambil yang bukan hakmu”. Dan itu berlaku untuk semua. Sebiji kelengkeng maupun seratus perak ongkos yang mesti kta bayarkan. Sebutir anggur maupun mengambil duit yang dititipkan nasabah di bank.
*****
Di sebuah supermarket lain.
Seorang anak SD merengek takut-takut kepada ibunya untuk makan buah kelengkeng . Sang ibu yang sedang memasukkan buah kelengkeng ke kantong plastiknya di keranjang lain, dengan enteng menjawab,”Ya udah ambil! Makan aja, gak papa.” Kata si ibu enteng sambil terus memasukkan buah kelengkeng ke kantong belanjaannya. Sang anak pun meraup segenggam kelengkeng dari keranjangnya dengan sembunyi-sembunyi dan memasukkanya ke kantong rok yang dipakainya. Diambilnya satu butir lagi, langsung kupas dan masuk mulut. Saat matanya bersirobak pandang dengan saya, dia bergegas menghindar sambil melirik takut-takut.

Seorang anak yang polos bisa merasakan ,bahwa apa yang dilakukannya bukanlah tindakan yang benar. Namun, ajaran yang diterima dari ibunya, bisa jadi akan membuatnya seperti bapak keren, ibu trendi, dan gadis cantik yang telah diceritakan di awal tadi, pada suatu hari nanti saat dia beranjak dewasa. Kecuali kalau kita semua, para orang dewasa, tidak lagi menganggap ha-hal semacam ini sebagai suatu masalah ‘kecil’ dan wajar. Kecuali kalau kita mulai menempatkan sesuatu pada haknya, mulai dari diri sendiri dan hal-hal kecil yang kita lakukan.
(Sumber : Oase Jiwa, Truly, Deeply, Sincerely)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar