Minggu, 14 November 2010

Renungan

Tak pernah sekali pun keluar dari mulut ini rangkaian kata :
“Tuhan, terima kasih atas semua nikmat-Mu, sampai hari ini.”
****

Kawan, Pernahkah Seberdosa Ini?

Semakin kutahu
Jika pepohonan dijadikan pena
Dan laut menjadi tinta
Niscaya takkan pernah cukup
Tuk menuliskan semua nikmat-Nya

Lelah. Rasanya terlalu lelah untuk terus berdoa kepada Allah. Hari ini entah sudah ke sekian kalinya aku meminta, tapi tak jua Dia mengabulkan permintaanku. Pekan lalu, saat kumembutuhkan pertolongan-Nya, Dia tak segera  mengulurkan tangan-Nya. Ah, jangankan yang baru-baru, puluhan bahkan ratusan pintaku bulan-bulan sebelumnya, juga tahun sebelumnya, kalau kuingat-ingat, belum juga dikabulkan.

Tapi, apa salahnya malam ini aku mencoba berdialog kembali dengan-Nya, semoga saja Dia mau mendengar. Baru saja kususun jemari ini, belum sempat baris kata-kata yang sebelumnya sudah kurangkai indah di dalam benakku deras terburai keluar dari mulutku, mataku menangkap tajam jemariku yang bergerak…

Astaghfirullah … seketika dadaku sesak. Berdegup kencang. Ingin kuhapus kata-kataku di atas, tapi sudah telanjur tumpah. Aku malu telah lancang kepada-Nya dan menihilkan semua yang telah diberikan-Nya.

Sedetik kemudian, seiring dengan menggenangnya air  di pelupuk mata ini yang siap tumpah bagai gelombang, yang menunggu perintah menghantam karang, benakku sudah disesaki dengan sejuta tanya…

Pernahkah  aku meminta kepada-Nya untuk memberikan kepadaku jemari yang lengkap dan indah ini, sehingga aku bisa banyak berbuat dengan kesempurnaan penciptaan ini. Aku tak pernah meminta sebelumnya agar Dia melengkapi tanganku ini dengan jemari, aku juga tak pernah berdoa untuk berbagai kesempatan hingga detik ini aku masih bisa menggerakkan dan menyentuh dengan jemariku ini. Tapi sampai detik ini, Dia masih memberikannya kepadaku.

Harus kusentuh lagi beberapa anggota tubuh ini. Kemudian aku berdiri, subhanallah, aku masih bisa berdiri. Padahal aku tak pernah sebelumnya meminta agar terus ditetapkan memiliki dua kaki sempurna, tapi Dia masih terus memberikannya. Kupandangi, ups… sebelum kulanjutkan … dengan apa aku memandang? Pernahkah aku meminta Dia menganugerahi sepasang mata indah ini? Sehingga semua terasa begitu indah untuk dinikmati, semua alam dan lukisan semesta menjadi penghibur hati dengan adanya dua mata ini. Kuyakin juga – aku tak pernah lupa – tak pernah memohon kepada_nya untuk tetap memberiku dua telinga dengan fungsi pendengaran yang baik. Tapi kenapa aku masih bisa mendengar?

Test…test…satu…dua…tiga…

Sengaja aku mengetes suaraku. Masih jelas terdengar. Tapi bukankah Dia memberikannya begitu saja kepadakau tanpa aku pernah memintanya? Lalu aku berjalah, Alhamdulillah! Aku masih bisa berjalan. Ke luar kamar, ke ruang tengah, kulihat masih terlihat sederet makanan di meja makan, kucicipi sepotong tahu. Enak, ya.. enak. Tapi kenapa aku masih bisa merasakan nikmatnya sepotong tahu? Juga segarnya menyeruput sebotol jus buah yang kuambil dalam kulkas? Yang pasti, tak pernah barisan kata pinta terucap tuk sekedar memohon agar tetap diberi kemampuan merasa …

Kuterus berjalan. Ke kamar mandi. Ada air. Kusentuh segarnya air, aaah… sejak kapan aku merasakan kesegaran ini? Mungkinkah ketika terlahir dulu sempat aku meminta kepada-Nya agar dikaruniakan kesegaran macam ini? Atau ….hhhh… kuhirup udara malam yang sejuk. Eh.. apakah aku pernah minta Dia tak menyetop pasokan udara untukku? Bahkan….aku masih hidup, aku masih hidup (teriakku) … siapa tahu dan bisa menerka sampai kapan aku masih bisa menikmati hidup. Tapi yang jelas tak pernah sekali pun keluar dari mulut ini rangakaian kata : “Tuhan, terima kasih atas semua nikmat-Mu, sampai hari ini”.

Masih saja banyak pintaku …
Dan air mata itu pun tumpah deras membasuh kegersangan jiwa ini …

___Malam penuh kontemplasi___ 14 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar