Kamis, 11 November 2010

Kritik Sastra

KEPASRAHAN DALAM PUISI CHAIRIL ANWAR, SEBUAH PEMBERONTAKAN BATIN YANG RAPUH
Puisi-puisi Chairil Anwar sebagai penyair pelopor angkatan 45 banyak memengaruhi sajak-sajak penyair sezaman dan sesudahnya. Puisi-puisi Chairil padat akan makna walau dikemas dengan sederhana. Keberaniannya dalam menggunakan kata-kata sederhana tetapi sarat makna merupakan ciri khasnya. Tak heran jika puisi-puisinya menginspirasi para penyair lain untuk berani dalam memilih kata, bukan lagi kata-kata klise seperti puisi-puisi angkatan sebelumnya. Para penyair pada angkatan tersebut menulis puisi tanpa memedulikan ikatan-ikatan formal seperti puisi lama karena mereka beranggapan bahwa bentuk-bentuk formal  bukanlah hakikat puisi, melainkan hanya merupakan sarana kepuitisan saja.

Jika kita menilik puisi-puisi ciptaan Chairil Anwar yang bermakna dalam seperti “Aku”, “Senja di Pelabuhan Kecil”, dan “Kepada Peminta-minta”, tentunya kita akan mengetahui bahwa puisi-puisi tersebut mengekspresikan diri penyairnya. Dalam “Aku”, penyair merasa bahwa selama ini ia hidup dalam ketidakbebasan sehingga dia memberontak, dia tak mau terikat dengan aturan, ia ingin bebas. /Kalau sampai waktuku ku mau tak seorang kan merayu/ tidak juga kau/ Biar peluru menembus kulitku/ Aku akan meradang/menerjang/ Aku mau hidup seribu tahun lagi/ . Dalam puisi tersebut tersirat bahwa ia tak mau dipengaruhi oleh siapa pun bahkan ia sangat  ingin hidup seribu tahun lagi, yang menyiratkan makna bahwa ia akan tetap hidup untuk terus berkarya tanpa dipengaruhi oleh orang lain. Dia ingin bebas. Jiwa pemberontak sangat terlihat dalam puisi ini.

Namun, semangat itu tak nampak dalam puisi yang lain, yaitu “Senja di Pelabuhan Kecil dan “Kepada Peminta-minta”. Dalam puisi tersebut justru terlihat kerapuhan yang ada dalam diri penyair. Dalam puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” tercermin kerapuhan jiwa penyair karena cintanya yang tak kesampaian pada seseorang yang dikaguminya yaitu Sri Ayati. Lihat saja judul puisinya “Senja di Pelabuhan Kecil: Buat Sri Ayati . Sebuah pengharapan yang sangat akan cintanya, tetapi tak berbalas. Hal ini terlukis jelas  pada bait ketiga
Tiada lagi, aku sendiri
Menyisir semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
Di sini dapat kita rasakan suasana sedih, sepi, dan tak ada harapan lagi untuk mendapatkan cinta dari orang yang dikaguminya. Suasana pantai semakin menggambarkan kesepian yang dialami oleh penyair. Bahkan, sedu-sedan tangis penyair dapat terdengar sampai pantai yang keempat. Sebuah hiperbola yang menggambarkan betapa sunyi dan sepi suasana waktu itu.

Kerapuhan jiwa pengarang terlihat pula dalam puisi “Kepada Peminta-minta” Mengenai makna kata peminta-minta dalam puisi tersebut dapat berarti peminta-minta dalam arti sebenarnya yaitu orang yang meminta sedekah atau pengemis. Selain itu, kata tersebut bisa diartikan sebagai makna kias dari orang yang meminta penyair untuk ingat pada Tuhan, untuk menyembah Tuhan (Dia). Bahasa puisi yang multyinterpretable membebaskan kita untuk mengartikan kata itu tak sesuai konteksnya. Seruan peminta-minta itu  diterima oleh penyair hingga ia akan menghadap Dia dan menyerahkan segala dosanya. Ia sudah sangat sadar akan segala dosanya itu sehingga penyair menginginkan untuk tidak  selalu diperingatkan saja karena hal tersebut akan membuat darahnya menjadi beku oleh rasa berdosanya. Seperti yang terlihat dalam bait pertama.
/Baik,baik aku akan menghadap Dia/ /menyerahkan diri dan segala dosa/ /Tapi jangan tentang lagi aku/ /nanti darahku jadi beku/

Hal ini sangat bertentangan dengan puisi yang pertama. Dalam puisi tersebut penyair tak mau dipengaruhi oleh siapa pun, tetapi dalam puisi kedua penyair mudah sekali dipengaruhi hanya oleh seorang peminta-minta walaupun ia sudah menyadari akan dosa-dosanya sendiri. Pemberontakan yang berubah menjadi kepasrahan walaupun ia minta untuk tidak ditentang karena ia akan merasa sangat tersiksa . Di sini nampak bahwa sebenarnya di balik sifat pemberontaknya, ada rasa takut dalam hatinya karena ia menyadari bahwa manusia tetaplah seorang makhluk yang lemah, yang tak pernah luput dari dosa. Bait pertama yang diulang pada bait keempat menekankan masalah dan memberikan intensitas renungan terhadap masalah tersebut , yaitu masalah dosa manusia.

Ide dalam puisi tersebut yang bersifat abstrak digunakan untuk memudahkan pemahaman pembaca, supaya dapat dirasakan oleh pembaca. Hal ini dilakukan dengan mengongkretkan pengertian dengan kiasan dan citraan. Seperti dalam baris/menyerahkan diri dan segala dosa/. Dosa yang abstrak dikonkretkan seolah-olah dapat dipegang sehingga dapat ‘diserahkan’ . Untuk menyatakan pengertian bahwa penyair merasa sangat berdosa, pengonkretannya dilakukan dengan memberikan citraan peraba /…darahku menjadi beku/. Begitu juga peringatan atau seruan dikonkretkan dengan divisualkan dengan /jangan tentang lagi aku/. Menentang atau memandang lebih konkret daripada hanya “memberi peringatan”.

Selain dikonkretkan dengan citraan-citraan, untuk menyatakan betapa tersiksanya penyair juga digunakan sarana retorika atau majas hiperbola. / tapi jangan tentang lagi aku/ /nanti darahku jadi beku/ /sudah tercacar semua di muka/ /nanah meleleh dari muka/ /bersuara tiap kau melangkah/ /mengerang tiap aku memandang/ …
Pemilihan kata berupa citraan kesakitan  menunjukkan koherensi yang kuat : darahku jadi beku, sudah tercacar, nanah meleleh, kau usap juga, mengerang, menetes, merebah, mengganggu, menghempas di bumi keras, segala dosa, nanti darahku jadi beku. Semua itu menunjukkan bahwa orang yang sadar akan dosa-dosanya itu rasanya sangat sakit, sangat menderita, dan tersiksa.

Bunyi  vokal a dan u yang dominan semuanya memberi gambaran suasana yang berat dan sedih, sesuai dengan suasana kesakitan dan penderitaan. Walaupun tergolong puisi baru, puisi ini belum bisa meninggalkan pola puisi lama dalam hal persajakan atau rima akhir. Namun hal itu bukan disebabkan penyair masih terbelenggu oleh aturan penulisan puisi lama, melainkan hal tersebut dilakukan untuk menciptakan kemerduan dan kelancaran ekspresi yang membuat liris dan juga memperkeras arti.

Dalam puisi tersebut terlihat nyata bahwa masa lalu penyair yang penuh dosa akhirnya menjadikan dirinya yang sekeras batu terpaksa menyerah kepada Tuhan lewat perintah sang peminta-minta. Masa lalu penyair yang kelam menyadarkan dirinya, tak akan tentram hati seseorang yang telah banyak berbuat dosa. Sebuah refleksi diri yang bisa menjadi bahan kontemplasi bagi pembaca. Kerapuhan batin yang membelenggu hidupnya selama ini tergambar jelas lewat puisi ini.

Konsistensi sebenarnya harus tetap dipertahankan. Jika penyair-penyair angkatan ‘45 mangatakan bahwa hakikat puisi tak ditentukan oleh bentuk-bentuk formal, seharusnya penyair mempunyai cara baru untuk memerhatikan kepuitisan dan ke-estetisan puisi tanpa harus mengikuti pola puisi lama. Pembaruan dalam puisi perlu diciptakan agar dunia kesusastraan semakin kaya akan kreasi para penyairnya sehingga akan menambah wawasan juga bagi penikmat seni sastra.
                                                                                                Salatiga, 19 Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar